Membaca, Kenapa Takut!

Satu kata yang mudah diucap tapi susah untuk dilakukan yaitu membaca.
Kata ini sebenarnya tidak asing lagi bagi kita yang bergelut dibidang
pendidikan. Namun seringkali membaca menjadi momok bagi sebagian besar
civitas akademik pendidikan. Padahal bagi civitas akademik, baik itu
guru maupun siswa memiliki kewajiban normative untuk melakukan kegiatan
membaca. Mengapa membaca disebut sebagai kewajiban normative?
Jawabannnya
sangat sederhana, sebab dengan membaca kita menjadi paham akan apa yang
tertuang dalam buku. Kita jadi mengerti dan wawasan menjadi lebih luas.
Sebagai seorang guru kita akan lebih paham akan ilmu yang akan kita
transfer ke siswa. Tidak ada keraguan pada saat kita mentransfer ilmu
bila kita telah benar-benar memahami materi yang telah kita baca. Jadi
kata kuncinya adalah membaca.
Demikian pula bagi siswa dengan
membaca mereka akan memahami materi yang telah diperoleh. Saya pernah
menanyakan materi yang telah diajarkann ke siswa, tetapi mereka tidak
mampu menjawabnya. Setelah saya beri waktu beberapa saat untuk membaca,
selanjutnya saya tanya dengan pertanyaan yang sama akhirnya mereka bisa.
Sekali lagi kata kuncinya adalah membaca.
Mengapa budaya
membaca di lingkungan sekolah masih begitu rendah? Saya mencoba
mengupasnya dalam sudut pandang kebutuhan. Membaca menjadi tidak begitu
penting dan berarti ketika budaya membaca belum menjadi satu kebutuhan.
Kebutuhan
yang dimaksud adalah kebutuhan dasar terhadap informasi. Pada saat kita
membaca, transfer ilmu perlahan tapi pasti akan masuk ke otak kita.
Jutaan sel-sel saraf (neuron) yang menuju ke otak berupaya untuk
mentransfer informasi-informasi yang kita baca ke otak untuk kemudian
direkam dan dimasukkan ke dalam memori jangka pendek maupun dalam memori
jangka panjang. Hal itu dimaksudkan pada suatu saat bila informasi itu
dibutuhkan dapat dimunculkan kembali, baik itu jangka pendek maupun
untuk jangka panjang!
Baca juga :
Rangsangan (stimulus) yang telah diterima
otak menjadikannya tergantung untuk menerima kembali rangsangan
(stimulus) dari aktivitas membaca tadi. Disinilah mulai muncul suatu
kebutuhan.
Seorang siswa mendapat nilai ujian yang jelek sebab
malamnya dia tidak belajar (baca: membaca), respon yang diterima otak
menyatakan bahwa ada satu kebutuhan yang tidak dicukupi yakni tidak
adanya informasi yang harus dimunculkan untuk menjawab soal-soal tadi.
Mengapa tidak ada informasi yang dimunculkan? Hal itu terjadi karena dia
tidak membaca, sehingga memori otaknya tidak ada rekaman informasi yang
seharusnya dimunculkan.
Budaya membaca dan perkembangan otak
merupakan satu kesatuan yang erat. Mereka bagaikan mata pisau dan
pengasahnya. Bila otak kita samakan dengan mata pisau dan membaca
sebagai pengasahnya, maka semakin sering kita asah mata pisau semakin
tajam, namun sebaliknya bila kita tidak pernah mengasahnya lama-kelamaan
akan tumpul. Hal itu berlaku juga bagi otak kita. Semakin sering kita
gunakan membaca Insya Allah semakin cerdas otak kita. Semakin banyak
informasi-informasi yang terekam, sehingga sangat mudah kita memunculkan
informasi-informasi itu kapanpun.
Budaya membaca dan
perkembangan otak juga masih sejalan dengan gagasan yang disampaikan
oleh J.B De Lamarck yang menyatakan “organ yang sering digunakan akan
mengalami perkembangan dan organ yang jarang digunakan akan mengalami
kemunduran (rudimenter)”. Artinya bahwa otak kita akan bertambah besar
kemampuan memahami suatu bacaan manakala sering-sering digunakan membaca
dan sebaliknya otak kita terasa berat bahkan mungkin semakin malas
untuk membaca bila jarang-jarang bahkan tidak pernah dipakai untuk
membaca. Jadi mari kita budayakan kepada anak didik kita untuk
menjadikan mereka rajin membaca. Setiap tatap muka dalam proses
pembelajaran kita beri mereka kesempatan untuk membaca. Sebab pernah
saya tanya mereka, apakah tadi malam kalian sempat membaca? Dengan jujur
mereka kompak menjawab; Tidak!!!
Kalau di kompasiana ini saya
sangat yakin para kompasioner merupakan para ahli dalam hal
baca-membaca. Bagaimana tidak, lha wong tiap ada tampilan artikel baru
yang muncul dan menarik pasti akan dibaca, lebih lanjut para kompasioner
ini semuanya mampu menuangkan ide-ide hebatnya lewat tulisan. Maka
pastilah semua para kompasioner bilang Membaca, Kenapa Takut? Namun
tidak demikian para pelajar kita, ada di antara mereka tentunya akan
menyampaikan, Membaca... Saya Takut!!!
Baca juga :
Nono Purnomo
Sumber : http://www.kompasiana.com
gambar : http://riniintama.files.wordpress.com/2011/10/satu-juta-buku.jpg
Posting Komentar untuk "Membaca, Kenapa Takut!"