Say Yes! Part 2
BAB 2
Cinta,
mungkin
aku salah
menyimpanmu dalam diam
Bintang
tetaplah Bintang
Bagaimanapun
juga,
Aku tak
bisa meraihnya
~00~
Cinta
bisa datang sesuka hati. Kapan pun ia mau,
tak perlu mengetuk pintu.
Aku
membuka profil Aadetya. Namun tak ada yang bisa kutemui di sana selain
catatan-catatan cerita atau puisi. Kubuka album foto untuk mengenalnya lebih
jauh. Tapi tetap saja aku tak bisa melihat wajahnya. Foto profilnya pun hanya
menampilkan sebuah kalimat, “Thank
you, but the princess is in another castle.”
Sudah
seminggu lebih aku tidak bersapa dengan Aadetya. Ada yang hilang di
hari-hariku. Membuka berandanya, kupikir akan bisa menemukan jawaban ke
mana perginya guru tercintaku itu.
Tercinta?
What? Apa yang barusan kukatakan itu.
Cinta? Impossible. Mungkin aku hanya
rindu. Kangen canda yang ia lontarkan dan tawa yang pecah bersama.
Bagaimana
mungkin kerinduan ini sebuah cinta? Apalagi padanya yang bahkan tidak kuketahui asal-usulnya.
“Alana!”
Teriakan Salwa mengagetkanku. Sahabat seperjuangan
sejak kecil itu memanggil dari depan pintu
kamar.
“Hei,
masuk
... Kapan datang?” Salwa teman sekolahku sedari SD. Kami
bertetangga. Empat tahun belakangan, ia kuliah di Jakarta. Kabar kepulangannya
sudah kudengar sejak beberapa hari lalu. Ia ingin mengabdi di desa, jadi
kembali pulang.
“Ngelamun
aja sih kerjamu. Aku datang tadi pagi. Apa kabarmu? Tambah cantik saja
….” Salwa masuk dan kusambut dengan pelukan.
“Lagi
ngapain?” Salwa menuju meja dan
memainkan jemarinya di touchpad. Aku
buru-buru menutup Neby.
“Gak
ngapa-ngapain. Mau tahu aja ...” Aku menarik Salwa ke tempat tidur. “Ayo cerita, ada perkembangan apa
lagi tentangmu?”
Keputusan
Salwa untuk kembali karena ia baru saja berpisah dengan kekasihnya. Ini semua
karena lelaki yang ia cintai menemukan wanita lain. Alih-alih larut dalam
kekecewaan, Salwa memulihkan hatinya di desa. Menenangkan diri.
“Ah, aku
sedang tak ingin membicarakan itu. Kamu gimana? Masih saja setia dengan Sam dan
By?”
Aku nyengir. Dua nama yang baru saja disebutkan Salwa
tentu saja aku tak bisa jauh dari mereka –Samsy dan Neby, kesetiaan yang
tak dapat tergantikan–
“Idih,
malah senyum-senyum gak jelas. Kamu sudah punya calon pendamping ya? Kudengar
dari ibumu, sedang mempersiapkan pernikahan? Jahat banget sih, kok
aku gak tahu ....”
Keningku
berkernyit, “Ibu cerita apa aja? Terus kamu percaya aku benar akan menikah?”
Salwa
mengamati perubahan raut wajahku. Senyum lalu tersungging di bibirnya. “Nah,
makanya aku ingin mendengar sendiri ceritamu. Gak mungkin kamu menutupi sesuatu
dariku,
kan. Aku hanya heran, kenapa kabar rencana pernikahan kamu rahasiakan dariku.
Hei, aku ini masih sahabatmu, kan?”
Aku
bangun dari kasur dan berjalan ke jendela. Anak-anak sedang bermain di depan
rumah. Seperti sore yang sudah-sudah, halaman rumahku yang cukup luas menjadi
tempat berkumpul anak-anak bermain sepeda atau layangan.
“Hem
..., membaca gelagatmu ini, pasti kamu gak mau nikah toh?”
Salwa mengikutiku dan memandang jauh ke luar. Aku menoleh dan tersenyum malas.
“Ya
itulah, kupikir kita belum terlalu tua untuk melajang, kan?” Nadaku seolah menyindir kenyataan bahwa kami
berdua sudah pantas untuk menikah. Salwa tertawa dan menggeleng-gelengkan
kepalanya lalu berdecak.
“Itu
bukan jawaban yang ingin kudengar. Jadi, siapa lelaki yang akan menikahimu
itu?” Salwa melihatku seperti seorang
penyelidik handal, melotot cari tahu.
“Gak ada
pernikahan! Aku bahkan tak mengenalnya. Gak niat buat kenalan.”
Tawa
Salwa pecah. Gak berubah, cewek feminin dengan rambut sebahu itu ngalah-ngalahin ketawanya tante Kunti.
“Ah, aku
tahu
... Kamu pasti sudah punya pilihan sendiri, kan ... Si itu ya ...?”
Salwa mencolek pipiku.
“Si itu
siapa?”
“Guru
menulismu yang misterius itu kan ....” Salwa tertawa pelan kali ini.
Aku
menatapnya sambil tersenyum. Salwa bisa menebak,
tentu saja. Beberapa waktu lalu aku pernah
bercerita tentang Aadetya padanya.
“Gak ada
siapa-siapa. Dia hanya teman.”
Teman?
Aku senyum-senyum sendiri dengan kata teman yang baru
saja terlontar dari bibirku. Ya, mungkin benar Aadetya hanya
teman. Teman yang istimewa. Aadetya selalu hadir setiap aku membuka layar
fesbukku. Kalau saja aku tidak muncul saat jam biasanya, ia pasti menelepon
atau meninggalkan pesan masuk di Samsy.
“Malam kelam tanpa cahaya Bulan.
Sibuk ya sampai gak muncul?”
Kalau
sudah begitu pasti kujawab, “Kan masih
ada Bintang. Bulan lagi diselimuti awan.”
Aadetya
teman yang mengasyikkan. Kalau sudah bersapa dengannya, aku nyaris lupa waktu. Sampai
lupa esok pagi harus mengajar. Namun anehnya, tak pernah aku lalui pagi dengan
kantuk setelah malam sebelumnya larut dalam percakapan seru dengan Aadetya.
Pria
misterius itu selalu sanggup menciptakan tawa dan semangat di hari-hariku. Dan
kini, aku merasa kehilangannya. Seminggu sudah dia tak muncul. Pesan pun tak dibalas.
Aku tak berani menekan tombol panggilan untuk sekadar mendengar suaranya. Apa ini rasanya merindu karena
cinta telah merasukiku? Ah, cinta ... tidak, ini bukan cinta.
“Heh,
malah bengong dianya ...”
Salwa mengibas-ngibaskan tangannya ke wajahku. Membuyarkan lamunan panjang akan
Aadetya. Aku memandang kesal pada Salwa yang menertawakan sikapku.
“Jadi,
bagaimana dia?”
“Dia?”
Salwa
melotot geram, “Ya dia? Si Bintangmu itu, kan?”
Aku tersipu malu. Salwa, gadis bermata belo dengan bulu
mata yang lentik itu sungguh lucu kalau sedang diliputi penasaran.
“Nah,
tampaknya kamu beneran sudah jatuh cinta sama lelaki itu.”
“Ngaco
deh kamu. Sok tahu ...”
“Ngaco
gimana? Coba Ngaca tuh ...
wajahmu kayak kepiting rebus. Itu tandanya ada yang lain di hatimu. Sesuatu
yang kamu simpan. Hayo, cerita!” Salwa merengek manja. Sahabatku ini orangnya
selalu ingin tahu. Tapi tunggu ... Apa mungkin iya aku sungguh jatuh hati pada Aadetya? Kulirik bayangan
wajahku di cermin. Astaga, Salwa benar. Mukaku merah tak keruan. Sungguh
memalukan.
Dreet
... dreet
... Samsy bergetar panjang di atas meja. Pertanda sebuah
panggilan masuk. Aku beranjak mengambilnya.
Aadetya!
Seketika
jantungku berdegup kencang.
Posting Komentar untuk "Say Yes! Part 2"