Say Yes! Part 1 ... Coming Soon
Bab 1
Mataku tak henti menatap layar hape.
Pesan yang kuterima pagi tadi seolah menjadi penyemangat. Akhirnya aku
berhasil, lagi.
“Selamat
ya Alana,
naskahmu masuk daftar cerpen terbaik sayembara kemarin.”
Aku tersenyum membaca pesan darinya.
Ini yang kesekian kali namaku masuk dalam deretan naskah terbaik. Walau tak
pernah berada di urutan teratas, aku tetap merasa bangga. Aku kembali membuka
akun fesbuk dan langsung membuka ikon notifikasi. Kebanyakan pemberitahuan dari grup Pintar Menulis. Kupilih notif
pengumuman pemenang lomba. Lagi-lagi Aadetya
Kejora. Lelaki yang baru saja mengirimkan ucapan selamat itu
selalu saja juara pertama. Ya, bagaimanapun juga yang namanya Bintang selalu di
atas.
“Selamat
juga, ya. Hebat. Ah, kapan aku bisa menyusul ketinggalanku? Rasa-rasanya kau
seperti bintang berekor. Aku ekornya.”
Aku sedikit tertawa membaca pesan yang baru saja
terkirim. Ini bukan kebetulan. Hampir semua lomba yang kuikuti, tidak pernah
pindah posisi. Selalu ada Aadetya sebelum
Alana.
~00~
Sayinna
Alana, itu namaku. Kerjaanku sehari-hari
sebagai guru sekolah dasar di dusun Wonosari, Desa Toyomarto. SD Toyomarto 03
berada dalam lingkungan Kebun Teh Wonosari. Perkebunan yang telah dibuka sejak
tahun 1875 oleh Belanda ini awalnya ditanami teh dan kina selama tiga puluh dua
tahun. Ketika Jepang menguasai Indonesia, sebagian teh diganti dengan tanaman pangan. Lalu pada masa nasionalisasi
di tahun 1950, perusahaan asing diambil alih oleh pemerintah. Sejak itulah
tanaman kina diganti dengan tanaman teh. Sekarang perkebunan ini menjadi taman
wisata agro.
Selain mengajar, aku suka sekali menulis. Sudah
hampir setahun ini aku bergabung dengan komunitas yang isinya orang-orang hebat
dalam dunia tulis-menulis. Di sela-sela istirahat mengajar, kuluangkan sejenak
untuk menulis atau membaca karya
teman-teman di grup. Aku tak pernah lepas dari Samsy, si hape jadul yang selalu
menemani hari-hariku. Tanpa Samsy, jemariku gatal. Murid-murid memberiku
julukan ‘Miss Samsy’ karena selalu nempel sama benda kesayanganku itu.
“Bu, Bu ... Bu Alana!”
Aku menoleh ke belakang. Tiga anak
berseragam merah putih itu berlari-lari kecil menuju ke arahku. Beberapa lembar
kertas ada di tangan salah satu siswa.
“Ini, Bu.” Seorang murid yang
bernama Dinda menyerahkan kertas-kertas tulisan tangan padaku, “diperiksa dulu
ya, Bu.”
Aku membolak-balik satu per satu sambil tersenyum.
“Ini yang buat lomba itu ya?”
Anggukkan tiga murid menjawab pertanyaanku.
“Ya itu, tapi kami gak pede, Bu. Hehehe. Tolong ya, Bu ...”
Dinda merayu manja. Aku mengiyakan.
“Ya, tapi gak bisa sekarang. Sudah
waktunya pulang. Biar Ibu periksa di rumah ya.”
Aku memalingkan badan dan berjalan
pulang. Rumahku tidak terlalu jauh dari sekolah. Hawa sejuk pegunungan membuat
perjalanan kakiku terasa menyenangkan. Meskipun ini hal biasa, tapi tetap saja
aku menyukai kesegaran angin yang berembus dan menyapa wajah.
~00~
Senja memerah. Aku memilih duduk di
teras sambil menikmati keindahan langit. Suasana ini sangat kusuka. Kubuka Neby, netbook
putih sahabat Samsy. Waktu-waktu seperti ini, inspirasi datang tanpa
kupinta. Saat yang baik untuk menuangkan dalam tulisan.
Tung
… Tung … Tung!
Bunyi notifikasi
masuk bertubi-tubi begitu aku membuka layar beranda akun fesbuk. Kubuka
satu-satu. Ucapan selamat atas keberhasilanku menjadi juara kedua, menumpuk di
grup.
“Ayo, kapan kamu bisa menggantikanku, Alana?”
Jendela chat Aadetya muncul tiba-tiba. Pria itu.
“Pertanyaan yang aneh. Mana mungkin Bulan
jadi Bintang?” Aku tertawa sendiri membaca balasan chat yang kutulis untuknya.
“Yee, maksudku, apa kamu tak ingin menjadi
yang pertama? Perasaan belum pernah kamu mengalahkanku ...”
Aku
tersenyum membaca pesannya. Tentu saja aku tak pernah berniat mengalahkannya. Seorang
Aadetya Kejora yang telah lebih dulu melanglang buana di dunia menulis.
Aku
mengenalnya setelah sebulan bergabung di komunitas. Minggu-minggu pertama, aku
hanya bolak-balik masuk grup untuk membaca tulisan dan sesekali meninggalkan
komentar. Lalu aku beranikan diri mengirim tulisan di beranda grup. Aadetya
orang pertama yang merespon tulisanku.
“Tulisan kamu
bagus. Idenya menarik, konfliknya pas dengan alur yang mulus. Hanya saja kamu
harus lebih memerhatikan EYD dan tanda baca. Aku yakin, bila kamu sering
berlatih membiasakan diri menulis dengan baik dan benar, kelak kamu akan
menjadi penulis sejati.”
Itu
komentarnya setelah membaca cerita pendek yang kubuat. Jujur saja, tanggapan
positif itu bagai suntikan semangat yang memacu hasratku menjadi seorang
penulis. Sejak saat itu, tiap kali aku mengirimkan tulisan, Aadetya selalu
menjadi orang pertama yang memberi kritik dan saran untuk perkembangan
menulisku.
“Hei, masih di situ? Lagi cari ilham ya?”
Suara
pemberitahuan mengagetkan lamunanku. Ah, iya, aku lupa menjawab pertanyaannya.
“Jadi yang pertama? Tidaklah. Masih jauh
langkahku ke sana.”
“Jauh? Kamu tinggal selangkah lagi. Kenapa
aku membaca keputusasaan di sini ya?”
Lagi-lagi
aku tersenyum. Itulah keistimewaan Aadetya. Ia nyaris selalu bisa membaca
keadaan hatiku. Tidak, bukan putus asa. Mungkin lebih tepatnya, aku masih harus
belajar lagi untuk meraih nomor satu. Tapi akan aneh rasanya kalau harus
mengalahkan guruku sendiri.
“Kamu pasti bisa. Tak heran kalau nantinya
kamu lebih bersinar dibanding aku.”
Posting Komentar untuk "Say Yes! Part 1 ... Coming Soon"