Aku Benci Rokok
Aku melihat suamiku menyesap sebatang rokok. Kepulan
asap dihembuskan perlahan, keluar meliuk dari mulut dan hidungnya. Aku
tak habis pikir, apa enaknya merokok? Apa yang dihisapnya? Belum lagi
puntung dan debu kerap bertebaran, baunya pun aku tak suka. Sudah lelah
bibirku ini berceloteh agar ia berhenti merokok karena batuk kian parah
dan bibir pun menghitam.
"Pak, berhenti merokok dong, gak kasihan sama diri sendiri ya?"
Suamiku hanya tersenyum dan ini membuat hatiku gemas, penuh dengan rasa jengkel.
"Pak
... ditanya tuh, ya dijawab. Bapak kan masih ada tiga anak yang masih
kecil-kecil. Mama juga masih butuh Bapak." Aku berkata dengan harapan
didengar olehnya barang secuil.
"Mama nyumpahin Bapak mati, ya?" Suamiku bertanya sembari menghembuskan asap rokoknya untuk ke sekian kali.
Gara-gara
rokok aku kerap mengomel namun ia sepertinya sudah kebal dengan
ocehanku. Rasa kesal kupendam saja. Tak pernah tahu kapan suamiku
terketuk hatinya untuk tak lagi menyentuh barang tak ada gunanya itu.
Seribu pertanyaan ingin kulontarkan dan berharap jawaban yang memuaskan. Apakah
kau akan merasa lebih jantan? Padahal kau akan lebih keren kalau tak
merokok. Asap yang kauhembuskan dari benda itu membahayakan kami, Pak.
Juga membahayakanmu. Kadang kuperhatikan, kau lebih memilih merokok dari
pada makan. Sebegitu cintakah kau pada rokok? Kau tak cinta kami ya,
Pak? Batinku semakin jengkel.
"Ma, ini hanya iseng. Biar lebih fresh," ujar suamiku dengan tenang seraya mengambil satu puntung lagi dan siap membakarnya.
"Baiklah,
Mama juga mau fresh. Seharian capek urus rumah dan anak-anak." Aku
berkata dengan santai seraya ikut-ikutan mengambil satu batang rokok.
"Jangaaaaan, gak boleh!!" Tiba-tiba ia menyambar rokok yang kuambil barusan.
Jakarta, 2015
Posting Komentar untuk "Aku Benci Rokok"