Mari Budayakan Uluk Salam!
Oleh : AM. Hafs (@am_hafs)
Abdullah bin Amr ra.
berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Nabi Saw, “ Amalan Islam apakah yang
baik?” Beliau menjawab, “Engkau memberi makan dan mengucapkan salam, baik
kepada orang yang engkau kenal maupun yang belum engkau kenal.” (HR Bukhori dan Muslim)
Memberi makan dan berucap
salam, terlihat sepele memang. Namun itulah bagian dari kesempurnaan ajaran Islam.
Untuk memotivasi penganutnya, hal yang terlihat sederhana itu disulap menjadi
sebuah hal yang mulia. Selain diberi label kebajikan dan diistimewakan dengan
iming-iming sebuah pahala, dampak yang dibawa dalam sosial kemasyarakatan pun
cukup signifikan.
Hadits tersebut melayangkan
ingatanku ke masa lalu. Sewaktu masih tinggal serumah dengan nenek. Dalam
rentan waktu mulai menginjak TK sampai menjelang kelas 2 SD, setiap lebaran aku
diajak berkeliling oleh nenek ke rumah sanak family yang keberadaannya hampir
mencakup seluruh desa. Alhasil, uang saku lebaran pun membuat kantongku tebal. Jadi
merasa beruntung punya nenek seperti beliau.
Setelah sanak family
yang sedesa dikunjungi, rute pun beralih ke luar desa. Dari yang berdomisili di
kecamatan sebelah, sampai yang di kota sebelah. Waktu itu, aku tak ambil pusing
mengapa nenek punya banyak saudara. Baru ketika dewasa, karena rasa ingin tahu
aku mulai menanyakan hubungan kekerabatan di antara mereka. Mengejutkan,
ternyata sebagian besar dari mereka hanyalah kenalan atau pelanggan nenek
sewaktu berprofesi sebagai penjual makanan keliling.
Ibuku bercerita jika nenek
mempunyai kebiasaan membagikan sisa dagangan pada tetangga atau orang-orang
tidak mampu, yang ia temui di jalan. Kebiasaan lainnya, setiap orang yang bertamu
ke rumah nenek, pasti diberi hidangan. Hidangan tersebut harus dimakan, jika
tidak, sumpah serapah dan ancamannya akan mengudara, “Lek gak gelem mangan,
tutuk umah getun lo.”1 atau, “Ojo balik rene lek gak gelem mangan!”2
Terdengar kasar memang, tapi itu hanyalah strategi beliau agar si tamu tak
kuasa menolak.
Kini, ketika beliau
sudah tak kuat lagi berjalan jauh dan berkeliling seperti dahulu, merekalah
yang mendatangi rumah nenek. Tak heran bila saat lebaran, rumah nenek jauh dari
kata sepi. Nama beliau pun dikenal seantero desa sebagai orang yang ramah dan
pemurah.
Membaca kembali hadits
di atas, ingatanku juga terlempar ke masa SMA. Sewaktu menjalani hari terakhir
MOS yang bertema penjelajahan. Kami, peserta MOS, diwajibkan mengucapkan salam
kepada setiap orang yang kami temui sepanjang rute. Ada perasaan malu dan
sungkan yang menyeruak. Kurenungi, rasa itu muncul akibat kebiasaan
yang ada. Kebiasaan menyampaikan salam hanya pada seseorang yang dikenal. Itu pun
hanya pada waktu-waktu tertentu, semisal ketika memasuki rumah atau menghadiri
majelis. Jarang sekali di masa kini yang bertegur sapa di jalan dengan salam.
Kebanyakan hanya berucap, “Hai” atau sekadar melambaikan tangan. Ucapan salam
seperti telah mengalami penyempitan makna. Mungkin ini tanda bahwa Islam mulai
kembali kepada keterasingan sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Nabi Saw.
Sebagai upaya kecil mengatasi
hal tersebut, aku mulai mencoba mempraktikkan pada anak didik dan orang yang
kukenal. Membiasakan mengucap salam ketika bertemu mereka di jalan dan mewajibkan
mereka saling mengucap salam ketika bertemu sesama teman atau orang yang
dikenal. Semoga saja hal tersebut bisa menjadi teladan dalam mengembalikan
budaya islam. Paling tidak meruntuhkan budaya “say hai” yang marak di kalangan
remaja. Selanjutnya, tinggal mencari cara untuk menghilangkan rasa malu ketika
harus mengucap salam kepada orang asing.
(1 Kalau gak mau makan, nyesel loh nanti pas pulang)
(2 Jangan balik ke sini kalau gak mau makan)
(1 Kalau gak mau makan, nyesel loh nanti pas pulang)
(2 Jangan balik ke sini kalau gak mau makan)
Assalaamu'alaikum :-)
BalasHapuswa'alaikumsalam :D
BalasHapus