Perjalanan Impian Part.2
Kesabaran suami,
membuatku malu. Ya, bagaimana tidak. Selama dua tahun terakhir ini rumah
tanggaku benar-benar diuji.
Sejak putriku berusia satu tahun, aku merasa telah terjadi perubahan luar biasa dalam diri. Emosian, cepat sekali marah, gampang tersinggung. Tak jarang aku suka membantah suami kalau nasihat yang ia berikan tidak berkenan di hatiku.
Sejak putriku berusia satu tahun, aku merasa telah terjadi perubahan luar biasa dalam diri. Emosian, cepat sekali marah, gampang tersinggung. Tak jarang aku suka membantah suami kalau nasihat yang ia berikan tidak berkenan di hatiku.
Ini semua berawal ketika
aku mendengar kabar, mantan istri suami ingin rujuk. Aku marah, kecewa dan
benar-benar kesal. Sedikit saja salah paham, pasti meledak-ledak. Aku jengkel,
karena suamiku ternyata masih bersikap baik dan terkesan menerima kembali
wanita yang meninggalkannya juga buah hati yang masih kecil. Dan kini dengan
mudahnya ia katakan ingin rujuk? Sungguh luar biasa tak keruan rasa yang ada di
hati ini.
Hari demi hari kulalui
dengan murung dan melamun di kamar. Suami lebih memilih diam daripada membuat
seisi rumah kacau dengan emosi gilaku.
Suatu hari, suami mengatakan hal yang bikin hatiku luluh.
Suatu hari, suami mengatakan hal yang bikin hatiku luluh.
“Bunda, daripada
marah-marah tidak jelas, coba kembali lagi menulis. Itu lebih baik. Siapa tahu,
Bunda bisa menulis sebuah buku dari perjalanan kisah kita.”
Kupikir, ada benarnya
juga. Buat apa kemarahan kuledakkan di dalam rumah. Hanya bikin tambah gila dan
sakit hati. Sejak saat itu, aku mulai menulis kembali seperti saat-saat sebelum
menikah dulu. Namun emosiku masih tidak stabil. Hatiku tampaknya menderita
sakit yang teramat parah. Tiba-tiba saja aku merasa hampa.
“Bunda, Ayah bukan suami
yang sempurna, tapi Ayah ingin punya keluarga yang baik. Selama ini kita jarang
bersujud sama-sama lagi. Karena emosi membuat kita saling menjauh. Sadar gak
sih, Bunda, kalau kita sudah jauh juga dari Allah?”
Aku tertunduk. Dalam hati mengiyakan perkataan
suami. Gara-gara hati yang sensitif, aku melupakan satu hal penting dalam
keluarga ini. Aku melupakan Allah. Kemana aku saat kesal? Saat sedih?
Seharusnya aku datang pada-Nya.
“Ayah, maafin Bunda. Ini
salah Bunda.”
“Sudah, ini bukan
kesalahan Bunda. Seharusnya Ayah bisa membimbing Bunda. Bukannya malah cuek dan
tidak mau tahu seperti beberapa waktu belakangan ini. Ayah juga salah.”
~00~
Belakangan, keluarga kecilku
tumbuh seperti kuncup bunga yang bermekaran. Kadang angin menerpa, tapi bunga
itu tetap kokoh di ranting. Dasar yang kuat membuat ia tetap bertahan. Begitu
pun aku dan suami. Tak jarang kami jatuh bangun, saling ribut, tapi semua itu
terkalahkan oleh kasih dan cinta yang selalu menyelimuti.
Memasuki tahun ke empat
kebersamaan kami, sama-sama belajar mendewasakan diri. Aku beruntung memiliki
suami yang sabar dan bijaksana. Ia mengajarkanku kelembutan. Dulu ia sempat
berlaku kasar, tapi ketika kami sama-sama bertekad memperbaiki diri, ia
membuktikan mampu menjadi suami dan ayah yang terbaik.
Ini takkan berhenti
sampai di sini. Perjalanan kami masih panjang. Dan aku memastikan diri terus
melangkah sambil memegang erat tangannya.
Posting Komentar untuk "Perjalanan Impian Part.2"