Bunda, Izinkan Ayah Pergi!
“Sampai kapan pun, tidak!”
“Ini ujian
buat Bunda. Bisa gak jadi istri sholeha yang nurut sama suami...”
Aku merengut. Sungguh tak dapat kusanggah bila suami
sudah mengeluarkan kata-kata yang serupa mantra itu di hadapanku. Tapi tak adil
rasanya mengiyakan permintaan suami. Bagaimana mungkin aku izinkan imam
rumahtangga yang belum ada tiga tahun ini pergi ke luar negeri.
“Ayah ingin
jadi TKI. Untuk mengubah nasib. Agar keluarga kita lebih makmur. Agar Ayah bisa
membawa serta kakak Yasmine untuk ikut kita. Agar Bunda dan anak-anak bisa
lebih terjamin kehidupannya.”
Kata-kata itu meluncur dengan mantap dari bibirnya. Aku
tertunduk sedih. Rasanya kehidupan kami lebih dari cukup. Cukup makan
sehari-hari. Masih bisa mengajak anak-anak ke pasar malam atau makan bakso di
halaman Pindad nyaris setiap sore. Apalagi yang dicari?
“Kita tak punya
rumah. Bunda kan belum mau tinggal di Cirebon. Ayah harus belikan Bunda dan
anak-anak tempat tinggal yang layak. Tak lagi pindah-pindah.”
“Tapi tak
harus ke luar negeri kan? Kurangkah pekerjaan di Indonesia? Kita bisa usaha
sendiri. Bisnis.burung Ayah kan lumayan. Atau Bunda cari kerja lagi aja ya?”
“Jangan. Bunda
tetap urus rumah dan anak-anak saja. Mau anaknya dititipin sama orang lain
terus Bunda melewatkan perkembangan mereka sekian jam dalam sehari?”
“Ya enggak...”
“Ini baru
rencana. Kalau tidak menemukan jalan di sini ya Ayah terpaksa jadi TKI”
“Bunda tetap
tidak mau. Dua atau tiga tahun mungkin cepat buat Ayah. Tapi Bunda tak ingin
melewatkan hari-hari itu tanpa Ayah. Bunda lebih memilih ada Ayah ketimbang uang
yang nantinya Ayah kirimkan.”
Aku mantap dengan jawaban ini. Apalah artinya kekayaan
bila saling berjauhan. Kalau masih beda kota mungkin bisa kuterima dengan
lapang dada. Bila beda negara? Membayangkannya saja sudah pilu.
“Ayah...
Maafkan Bunda. Tapi lebih baik kita tetap bersama. Asal kita tekuni pasti usaha
berjalan lancar. Bunda belum bisa bantuin apa-apa. Bunda hanya bisa menulis.
Doakan agar bisa bermanfaat kelak.”
“Jadi Bunda
tetap gak ngasih izin ya?”
Kulihat raut wajah suami agak berubah. Tapi kali ini aku
memang tak bisa menuruti keinginannya.
“Bukan berarti
Bunda melawan Ayah. Tapi Bunda tak ridho bila Ayah pergi. Ridho seorang istri
juga perlu kan? Bisakah Ayah penuh berkah tanpa restu dan doa istri?”
Suamiku terdiam. Teringat beberapa hari lalu ia mulai
belajar bahasa korea. Pun sampai pagi ini masih semangat lidahnya melafalkan suara
yang aneh di telingaku.
“Maafkan Bunda
ya telah memadamkan mimpi Ayah ke Korea.”
Suami hanya tersenyum. Mengecup kening dan katakan, “Sarang Haeyo, Bunda”
“Apaan tuh?”
“Artinya, Bunda
bau kecut. Sana mandi dulu!” Ujarnya sambil tertawa.
Posting Komentar untuk "Bunda, Izinkan Ayah Pergi!"