Satu Permohonan
Langit masih setia
menurunkan hujan. Bajuku sudah basah kuyup. Dengan hati-hati aku berlari kecil melewati
gang becek. Dari jauh sudah terlihat ibu. Aku sudah tak sabar menemuinya.
“Bu, ini untuk Ibu. Tadi
Yuda bantuin kang Jenal angkutin panenan mangga.” Aku menyodorkan selembar uang
yang lecek dan basah ke tangan ibu. Lalu membuka kaos yang kukenakan.
Menyampirkannya di kursi bambu yang sudah reot.
“Ya
Allah, Le... Ditabung saja. Itu rejekimu...” Uang ditaruh ibu di atas kursi.
Aku
tak kuasa melihat bening yang tertahan di mata ibu. Sambil menggendong Joko,
Ibu membolak-balikkan jemuran yang sudah dua hari ini tak kering. Teras rumah
kini berubah jadi tempat jemuran dadakan. Bocor sana sini tak membuat ibu patah
semangat. Pakaian diangin-anginkan agar garing.
“Gak
papa, Bu. Buat beli beras sekilo cukup kan. Sisanya buat beli dua butir telur.
Nanti Yuda cari tambahan sepulang sekolah.”
“Oalah,
Le.. Kamu itu sudah kelas enam. Tugasmu belajar saja. Biar Ibu yang usaha.
Ujian sebentar lagi...”
Aku mengigil. Kubalikkan
badan, masuk ke dalam dan mengambil handuk lalu mengeringkan rambut.
“Yuda
mau cari tambahan juga buat sunat, Bu. Yuda mau sunat!” Ujarku sambil berjalan
lagi ke depan.
“Sabar
ya, doakan Bapakmu kerjaannya bagus, Ibu juga bisa dapat panggilan bantu-bantu
lagi.”
“Bu...
Percuma saja Bapak didoakan. Kalau Bapak dapat uang juga gak bakalan dikasih ke
Ibu, apalagi buat sunatin Yuda!”
Kudengar
ibu menghela nafas panjang. Kalau sudah begini, ibu takkan mampu berkata-kata
lagi. Ia sudah cukup merasakan sesak di dada dengan kelakuan bapak dan aku
yakin, ibu berpikiran percuma saja ngomong denganku. Karena jelas aku pasti
akan tambah emosi dengan kesabaran ibu.
“Ingat
kemarin, Bu? Waktu Yuda minta sepatu... tak usah beli, Yuda hanya minta lima
ribu perak buat ngesol. Apa jawab Bapak?”
Ibu
membisu. Ya ibu juga ikut mendengar. Bapak dengan entengnya menjawab, “Aku
ra nduwe duit!” Sambil ngeloyor pergi. Padahal aku tahu, Bapak baru saja
menerima uang sebagai upah jaga rumah Mas Dayat selagi ia dan keluarganya ke
luar kota. Seratus ribu rupiah. Jangankan untuk ngesol sepatu, buat beli beras
saja bapak seolah tak mau tahu.
“Yuda
gak mau nyusahin Ibu. Upah bantu-bantu biar untuk adik-adik. Yuda yakin bisa
ngumpulin uang buat sunatan. Gak usah ramai-ramai. Selametan biasa saja, Bu.”
Aku
meyakinkan ibu. Sebenarnya keinginan ini sudah cukup lama. Teman-teman sudah
pada sunat. Aku malu. Sebelum lulus sekolah, aku harus sudah disunat.
~0~
“Kalau
begini terus, Yuda karuan gak punya Bapak. Enak jadi anak yatim!”
“Huss, ati-ati kalau bicara,
Le. Dungakno Bapakmu insaf...”
“Ibu
gak usah belain Bapak terus. Yuda tahu kelakuannya. Lihat bibir Ibu! Pipi,
mata! Semua gak bisa bohong, Bu!”
Kulempar
tas sekolah di samping tempat tidur. Ibu terbaring lemah hingga tak sanggup
menggendong Joko. Pertengkaran ibu dan bapak senalam sudah kelewatan. Andai
saja aku tutup mulut saat tahu bapak habiskan waktu di tempat bilyard, tentu
saat ini ibu masih baik-baik saja.
Yang
kutahu diam-diam ibu menyusul bapak jam setengah tiga dini hari. Dan terjadilah
adu mulut hingga baku hantam. Mungkin bahasaku berlebihan tapi itu kali pertama
kulihat ibu melawan bapak.
“Jadi
anak yatim enak, Bu! Sekarang pemerintah menjamin. Minggu kemarin teman-teman
yang yatim dapat jatah. Lumayan bisa beli sepatu baru.”
Ibu
beristigfar.
“Ya
sama saja toh, Bu. Yuda dan adik-adik seperti tak punya Bapak. Yuda tak
segan-segan minta sama Allah, ambil bapak!”
“Sudah,
Le... Jangan pikirkan itu. Bapakmu memang menyakiti Ibu, tapi Bapak sayang sama
kalian. Sekarang kamu makan dulu. Tadi Ibu sempat bikin bawang goreng. Nasinya
masih hangat. Kamu masih suka kan makan nasi hangat ditaburi bawang goreng?”
Aku
tak menjawab. Makanan itu memang paling nikmat. Rasanya tiada duanya. Tapi mana
bisa aku melahapnya saat melihat keadaan ibu. Aku melihat jam dinding. Sudah
hampir jam dua. Biasanya Kang Jenal sudah mulai angkut panennya.
“Bu,
Yuda mau ke kebun saja ya. Doakan Yuda dapat rejeki lebih dari kemarin.”
“Hati-hati.
Jangan kesorean!”
~o~
Siang
ini agak panas. Langit cerah berawan. Kaki kecil melangkah dengan harapan. Mata
menatap ke depan.
“Bapak...”
Aku menggumam. Bapak dan seorang wanita nongkrong di warung tempat biasa ia
main bilyard. Inilah yang paling kubenci. Rasanya ingin menghampiri pria tidak
tahu diri itu dan memakinya habis-habisan. Kukepal tangan, amarahku meledak.
Kupercepat
langkahku, menuju warung. Kuputar arah ke belakang. Mengendap-ngendap.
“Sstt..!”
Bisikku pada Mbak Leha, pemilik warung yang sedang mencuci gelas. Ia hanya
tersenyum sambil geleng-geleng.
Aku
bersembunyi di balik tirai. Suara cekikikan bapak dan wanita yang nyaris
seperti nenek lampir itu menggaung di telingaku. Basa-basi yang busuk.
Kemarahanku rasanya sudah di puncak. Bayangan ibu dan adik-adik menayang di
pelupuk mataku. Teriakan ibu di malam buta, tangisan adik, dan darah yang
mengucur dari bibir ibu membuatku berani.
“Aku
benci Bapaaaak!” Teriakku seraya mendekat.
“Aaaaaaah...”
Bapak memekik. Darah segar menetes.
Nafasku
memburu waktu. Aku puas... Tapi... rasa nyeri menjalar di sekujur tubuhku.
Pisau
yang diam-diam kuambil dari dapur Mbak Leha, kini menancap di perut. Bapak
menangkis dan... kulihat ibu menangis di ujung sana.
“Tidak...
aku ingin jadi anak yatim... Tunggu dulu... Jangan ambil aku, Tuhan! Ibu....
Tolong akuuuu”
Posting Komentar untuk "Satu Permohonan"